Kolaborasi Agama dan Budaya: Mendukung Keberlanjutan Hutan Adat Kasepuhan Karang
Sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, Masyarakat Adat Kasepuhan Karang telah menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Jagaraksa, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Namun, selama periode 12 tahun antara 2003 hingga 2015, mereka mengalami hambatan dalam mengakses sumber daya alam di wilayah adat mereka sendiri karena wilayah tersebut berada di bawah penguasaan Taman Nasional Halimun-Salak (TNGHS). Namun, situasi ini berubah ketika Pemerintah Kabupaten Lebak menetapkan Peraturan Daerah No. 8 tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan, yang kemudian diikuti dengan Penetapan Wilayah Adat Kasepuhan Karang oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Keputusan SK.6748/Menlhk-pskl/ kum.1/12/2016. Proses ini melibatkan berbagai usaha yang rumit, termasuk verifikasi wilayah. Tidak semua masyarakat adat di Indonesia memperoleh pengakuan dan penetapan wilayah hutan adat, oleh karena itu, pengalaman transformasi sosial dan ekonomi yang dialami oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Karang menjadi hal yang menarik untuk dipelajari dan diikuti.
Interfaith Rainforest Initiative Indonesia adalah inisiatif yang melibatkan pemuka agama dari berbagai agama untuk berkontribusi dalam upaya pelestarian hutan dan lingkungan. Melalui kerjasama ini, diharapkan tercipta sinergi antara kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan Karang dan nilai-nilai agama yang mendorong penghormatan terhadap alam dan perlindungan lingkungan.
Kunjungan Interfaith Rainforest Initiative Indonesia ke Masyarakat Adat Kasepuhan Karang Banten bertujuan untuk memahami bagaimana masyarakat adat memadukan nilai-nilai adat dan agama dalam kehidupan sehari-hari dan pengelolaan hutan adat. Dalam pengelolaan hutan adat di Kasepuhan Karang, masyarakat mengandalkan pengetahuan tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun. Prinsip-prinsip keberlanjutan, keseimbangan ekologi, dan pemahaman mendalam terhadap ekosistem lokal menjadi pedoman utama dalam pengelolaan hutan adat ini.
Secara umum, Masyarakat Adat Kasepuhan Karang bergantung pada sektor pertanian, terutama padi untuk kehidupan subsisten dan hasil perkebunan yang menjadi sumber utama pendapatan. Mereka juga mengandalkan hasil dari kebun buah seperti durian, duku, dan manggis. Selain itu, potensi ekonomi lainnya mulai muncul melalui sektor ekowisata, di antaranya adalah Pesona Meranti Cepak Situ, serta beberapa lokasi lain yang memiliki potensi untuk ekowisata.
Hutan Adat Kasepuhan Karang merupakan salah satu kawasan hutan adat yang memiliki nilai ekologis, sosial, dan budaya yang tinggi di Kabupaten Lebak. Meskipun telah lama mengelola lahan-lahan di hutan adat ini untuk mata pencaharian dan pemukiman, masyarakat setempat masih dihadapkan pada tantangan dalam pelestarian hutan adat dan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Pentingnya keberadaan hutan adat dalam konteks pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat telah diakui secara global. Oleh karena itu, kunjungan ini bertujuan untuk mengapresiasi dan memahami praktik pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat Kasepuhan Karang, serta menjalin kolaborasi antara agama dan masyarakat adat untuk pelestarian hutan adat.
Dalam diskusi ini, Masyarakat Kasepuhan Karang menyatakan bahwa dalam pengelolaannya, diperkuat dengan adat-adat yang diyakini oleh masyarakat. Dalam pengelolaan wilayah hutan, Masyarakat Adat Kasepuhan Karang membaginya dalam beberapa bagian, hutan garapan dan hutan titipan. Masyarakat melibatkan partisipasi baik dari perempuan maupun laki-laki dalam pengelolaan tersebut, sesuai dengan tradisi dan nilai budaya setempat.
Dalam era globalisasi, golongan tua memegang peranan penting dalam melestarikan adat dan budaya, hal ini juga terjadi di Kasepuhan Karang Banten. Banyak upaya yang dilakukan para tokoh Kasepuhan Karang untuk mendorong pemuda memanfaatkan kekayaan alam di sekitar mereka, seperti penggarapan bibit kopi. Kang Ebeng adalah contoh pemuda yang mulai melakukan Penggarapan Bibit Kopi di sekitar Hutan Adat Kasepuhan Karang Banten sejak tahun 2018. Dengan penanaman jenis Arabica, hasilnya terus meningkat setiap tahunnya, dan memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat.
Secara keseluruhan, pengalaman Masyarakat Adat Kasepuhan Karang menunjukkan perjalanan panjang mereka dalam mendapatkan pengakuan dan penetapan wilayah hutan adat setelah menghadapi hambatan dalam mengakses sumber daya alam selama bertahun-tahun. Kolaborasi antara Interfaith Rainforest Initiative Indonesia dengan masyarakat adat tersebut menggarisbawahi pentingnya menggabungkan nilai-nilai adat dan agama dalam pelestarian lingkungan. Kunjungan ini memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana masyarakat adat memadukan tradisi lokal dengan praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, sambil menghadapi tantangan dalam era globalisasi. Dengan fokus pada sektor pertanian dan ekowisata, serta peran penting yang dimainkan oleh generasi muda dalam melestarikan adat dan budaya, kisah Masyarakat Adat Kasepuhan Karang menjadi inspiratif dalam upaya pelestarian hutan adat dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Penulis : Dr. Hayu Prabowo