Photo : Humas BRIN

Sinergi IRI, MUI, dan BRIN dalam Mendukung Pemulihan Lingkungan melalui Pendekatan Iptek dan Keagamaan

Jakarta, IRI Indonesia. Deforestasi dan kerusakan hutan tropis merupakan masalah yang terjadi di seluruh dunia. Indonesia sangat memperhatikan masalah ini karena negara ini memiliki hutan tropis terluas di dunia. Untuk menghentikan deforestasi dan degradasi hutan tropis ini, masalah lintas sektoral dan lintas komponen negara harus diprioritaskan.

Ketua Lembaga Pemulihan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam – Majelis Ulama Indonesia (LPLH & SDA MUI), Hayu Prabowo, mengatakan bahwa kompleksitas faktor ekonomi, sosial, dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap, dan persepsi sosial adalah dasar dari krisis iklim dan lingkungan hidup. Dia mengatakan ini pada sarasehan dan diskusi bertopik “Kekayaan Khazanah Ilmiah dan Nilai-nilai Spiritual dalam Perlindungan Lingkungan”, Rabu (03/04), di Jakarta. Jadi, kemampuan kita untuk mengatasinya dipengaruhi oleh moral dan etika.

Menurut Mego Pinandito, Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), deforestasi dan degradasi hutan tropis harus ditangani secara terpadu oleh berbagai lembaga negara, lembaga non-pemerintah, dan mitra pembangunan Indonesia, termasuk komunitas akademik dan masyarakat beragama.

“Proses degradasi dari hutan harus dikejar oleh deforestasi yang membutuhkan dukungan dari berbagai lembaga maupun masyarakat. Juga dari perguruan tinggi, akademik, yang bisa memberikan masukan-masukan yang akan menjadi motor penggerak pengembalian ekosistem yang rusak. Di sisi lain, masyarakat sekitar dan masyarakat adat tentunya juga bisa membantu perlindungan hutan tropis. Pemerintah, akademik, masyarakat, komunitas, semuanya pasti akan menjunjung tinggi dan memperjuangkan hutan atau wilayah lingkungan hidup agar terus terjaga,” ujarnya pada acara yang merupakan kerjasama antara BRIN dengan Interfaith Rainforest Initiative (IRI) dan LPLH SDA MUI. 

Perubahan iklim akan menyebabkan cuaca ekstrim, yang akan mengganggu kestabilan sosial dan ekonomi lebih lanjut. MUI sendiri telah mengeluarkan beberapa fatwa tentang lingkungan hidup dan sumber daya alam, seperti Fatwa nomor 2 tahun 2010 tentang Daur Ulang Air, Fatwa 22/2011 tentang Pertambangan Ramah Lingkungan, Fatwa 1/2015 tentang Pendayagunaan ZISWAF untuk Pembangunan Sarana Air dan Sanitasi Masyarakat, Fatwa 4/2014 tentang Pelestarian Satwa Langka, dan Fatwa 30/2016 tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan. Dalam Fatwa MUI nomor 86 tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global yang baru dikeluarkan pada 2023 lalu, secara tegas dinyatakan bahwa tindakan apa pun yang dapat menyebabkan kerusakan alam dan menyebabkan krisis iklim adalah haram.

Peran pemuka agama juga merupakan salah satu komponen penting dalam penyebaran pendidikan moral dan pendidikan karakter cinta alam kepada masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia yang beragama dan berasas kepada ketuhanan. Maka penting dari lembaga-lembaga keagamaan mendorong hal ini dan mendidik kader-kadernya, yaitu para tokoh agama untuk memperdalam dan berfokus kepada masalah lingkungan untuk menjadi bahan khutbah atau pengajarannya kepada jamaahnya, dan IRI Indonesia sebagai platform Lintas Agama untuk mengakhiri krisis Iklim terutamaa deforestasi Hutan Tropis di Indonesia mencoba menginisiasi gerakan-gerakan seperti diskusi kali ini. 

Tujuan sarasehan yang diselenggarakan oleh BRIN, IRI dan LPLH SDA MUI ini adalah untuk memprioritaskan tindakan mitigasi dan adaptasi. Ini memungkinkan akademisi dan masyarakat beragama untuk memobilisasi tindakan berbasis agama dan iptek, serta mendukung kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat adat dan hutan. Akibatnya, untuk meningkatkan dampak keduanya, dianggap penting untuk mengintegrasikan keduanya. Sarasehan ini merupakan bagian penting dari kombinasi nilai-nilai spiritual dan kekayaan ilmu pengetahuan dalam bidang perlindungan lingkungan. (rbth)