Photo by John Modaff on Unsplash
Photo by John Modaff on Unsplash

Menyelamatkan Hutan Tropis Indonesia – Antara Ilmu, Iman, dan Kolaborasi Global

Opini Oleh : Profesor Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Kehutanan dan Lingkungan IPB University*

Hutan  Hujan Tropis Indonesia di Ujung Tanduk

Hutan hujan tropis Indonesia, yang mencakup 10% luas hutan dunia, adalah rumah bagi 12% spesies mamalia, 16% reptil, dan 17% burung di bumi. Namun, dalam dua dekade terakhir, lebih dari 24 juta hektar hutan Indonesia telah hilang akibat deforestasi (World Bank, 2022). Angka ini setara dengan luas gabungan Inggris dan Belanda. Kebakaran hutan, alih fungsi lahan untuk sawit, dan ekspansi pertambangan adalah ancaman utama. Pada 2023, Global Forest Watch mencatat Indonesia sebagai negara dengan kehilangan tutupan hutan tertinggi ketiga secara global, setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo.

Krisis ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga kegagalan sistemik dalam memadukan pendekatan ilmiah, hukum, dan nilai-nilai spiritual. “Kita seperti mengejar target emisi di atas kertas, tetapi di lapangan, hutan terus dikorbankan,” ujarnya.

Deforestasi dan Krisis Iklim, Data yang Mengkhawatirkan

  1. Emisi dan Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah penyumbang utama emisi karbon Indonesia. Pada 2015, kebakaran hebat di Sumatra dan Kalimantan melepaskan 1,2 miliar ton CO₂—setara dengan emisi tahunan Jepang (Copernicus Atmosphere Monitoring Service). Meski pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) pada 2016, laju kerusakan tetap tinggi. Pada 2019, emisi dari kebakaran mencapai 1,6 juta ton, sementara kebocoran karbon dari lahan gambut terdegradasi menyumbang 60% emisi nasional (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023).

  1. Ancaman Lahan Gambut

Indonesia memiliki 36% lahan gambut tropis dunia, yang mampu menyimpan hingga 55-60 miliar ton karbon—3-4 kali lebih banyak dari hutan mineral (Wetlands International). Namun, ketika gambut dikeringkan untuk perkebunan sawit, ia menjadi bom karbon.

Satu hektar gambut sehat menyimpan 500 ton karbon. Jika diubah menjadi sawit, hanya tersisa 200 ton. Defisit 300 ton itu menguap ke atmosfer, mempercepat pemanasan global.

  1. Tekanan Ekonomi vs. Ekologi

Ekspansi sawit adalah contoh nyata konflik antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar dunia, dengan luas perkebunan mencapai 16,8 juta hektar pada 2023 (BPS). Namun, 3,4 juta hektar di antaranya berada di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi.

Sawit memang mendatangkan devisa, tetapi kita abai pada biaya lingkungan jangka panjang.

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Harapan yang Terkendala

  1. Kolaborasi Internasional dan Inovasi Teknologi

Sebagai akademisi, penulis terlibat dalam kolaborasi global untuk memitigasi krisis. Bersama Max Planck Institute for Chemistry di Jerman, kami membangun Pusat Kajian Kebakaran hutan dan lahan tingkat regional ASEAN. Sementara itu dengan dana dari NASA, kami meneliti dampak asap kebakaran gambut terhadap kesehatan pada wilayah sumatera dan Kalimantan, serta menemukan fakta baru bahwa perhitungan emisi gas dari kebakaran gambut yang dibuat oleh IPCC harus direvisi karena terjadi over estimate pada beberapa species gas. Tim kami mengembangkan sistem pemantauan kebakaran berbasis satelit yang mampu memprediksi indikasi terjadinya kebakaran 2-3 bulan sebelum memasuki musim kemarau, melalui system peringkat bahaya kebakaran (Fire Danger Rating System). Teknologi ini telah mengurangi respons waktu pemadaman hingga 40% di Sumatra Selatan.

Dan dengan menggunakan satelit ber resolusi tinggi kami dapat memastikan dimana kebakaran terjadi dalam waktu satu minggu.

Pada 2023, kami juga meresmikan didirikannya Pusat Pelatihan Fire Simulator, yang merupakan satu-satunya  di Asia Tenggara, yang merupakan hasil kerjasama dengan Pihak Perancis. Tahun 2024 yang lalu pelatihan Fire Simulator telah dilakukan yang dihadiri oleh berbagai pihak seperti KLHK, BNPB, BRIN, Perguruan Tinggi. Fire Simulator ini mampu mereplikasi dinamika kebakaran di berbagai tipe lahan, dari gambut hingga hutan pegunungan. Fire Simulator ini sangat membantu dalam melatih tim darurat bencana dalam menemukan korban dan merancang strategi pemadaman yang presisi. Pada bulan April-Mei 2025, akan diadakan pelatihan Fire Simulator ini bagi para pemadam dari 5 negara ASEAN, yang didukung penuh oleh Pemerintah Perancis dan AFoCO (Asian Forestry Cooperation) Korea Selatan.

  1. Dilema Implementasi

Meski teknologi tersedia, implementasi di lapangan sering terbentur birokrasi dan minimnya anggaran. Sebagai contoh, dapat dikatakan 70% kabupaten di Sumatra dan Kalimantan tidak memiliki unit pemadam kebakaran profesional. Mereka mengandalkan warga dengan peralatan seadanya. Saat kebakaran besar terjadi, kita seperti berperang dengan senjata tumpul dan akhirnya terjadi pembiaran, sehingga kebakaran makin meluas karena tidak terkendali.

Nilai Spiritual dan Peran Pemimpin Agama: Jembatan yang Terlupakan

  1. Kearifan Lokal Masyarakat Adat

Perlindungan hutan tidak bisa mengabaikan kearifan lokal. Dalam penelitian penulis di Kalimantan Tengah, kami menemukan komunitas Dayak yang menjaga hutan adat dengan ketat. Mereka percaya hutan adalah ‘rumah’ leluhur. Menebang pohon besar tanpa ritual tabu adalah dosa. Hasilnya, hutan adat di Kalimantan memiliki tingkat deforestasi 50% lebih rendah dibanding kawasan konsesi perusahaan (Studi AMAN, 2021).

 

  1. Interfaith Rainforest Initiative (IRI): Sinergi Agama dan Lingkungan

Pada 2020, saya bergabung dengan Interfaith Rainforest Initiative (IRI)—aliansi global yang melibatkan pemimpin agama dari Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu untuk melindungi hutan tropis. Agama memiliki kekuatan mobilisasi massal. Jika pesan lingkungan disampaikan melalui khotbah, ia akan menyentuh hati.

Contoh konkret terjadi di Riau, di mana ulama setempat mengeluarkan fatwa haram membakar hutan pada 2019. Hasilnya, kebakaran di daerah tersebut turun 35% dalam dua tahun (Data BNPB). Di Bali, pendeta Hindu menggiatkan ritual Tumpek Wariga—hari penghormatan pada pohon—sebagai sarana edukasi konservasi.

  1. Spiritualitas sebagai Fondasi Perubahan

Penulis menceritakan pengalaman inspiratif di Suku Samin, Jawa Tengah. Mereka awalnya menolak program reboisasi karena curiga pada motif pemerintah. Setelah pendekatan melalui nilai-nilai ‘laras’ (keseimbangan alam), mereka justru menjadi penjaga hutan paling gigih. Pada 2023, masyarakat Samin berhasil merehabilitasi 500 hektar lahan kritis.

Jalan ke Depan: Strategi Menyelamatkan Hutan Tropis Indonesia

1. Memperkuat Pendidikan Lingkungan Berbasis Agama

Pendidikan berbasis agama memiliki potensi besar untuk menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini. Di Indonesia, lebih dari 230 juta penduduk menganut agama, dan lembaga keagamaan seperti pesantren, gereja, dan sekolah minggu memiliki jaringan yang luas hingga ke pelosok desa.

A. Mengintegrasikan Etika Lingkungan ke dalam Kurikulum

  • Pesantren: Pesantren dapat memasukkan materi tentang fiqh al-bi’ah(hukum lingkungan) dalam kurikulum. Misalnya, mengajarkan bahwa merusak hutan adalah tindakan haram karena bertentangan dengan prinsip khalifah fil ardh (penjaga bumi).
  • Seminari dan Sekolah Minggu: Gereja dapat mengadakan program “Sekolah Alam” yang mengajarkan nilai-nilai Alkitab tentang penciptaan dan tanggung jawab manusia terhadap alam.
  • Sekolah Agama Hindu dan Buddha: Mengajarkan konsep Tri Hita Karana(harmoni dengan Tuhan, manusia, dan alam) serta ahimsa (tanpa kekerasan terhadap makhluk hidup).

Contoh sukses telah terjadi di Pesantren Al-Mukmin, Solo, yang mengembangkan program “Green Pesantren” dengan menanam 1.000 pohon dan mengelola sampah organik. Hasilnya, pesantren ini mengurangi 30% jejak karbon dalam dua tahun.

B. Melibatkan Ormas Keagamaan

Organisasi massa keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memiliki jutaan anggota dan jaringan hingga tingkat desa. Mereka dapat menjadi garda terdepan dalam kampanye anti-deforestasi.

  • NU: Melalui Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI NU), telah mengadakan pelatihan bagi kiai dan santri tentang pengelolaan lahan berkelanjutan.
  • Muhammadiyah: Menginisiasi program “Eco-Mosque” yang mendorong masjid untuk menggunakan energi terbarukan dan mengurangi sampah plastik.

Dengan melibatkan ormas keagamaan, pesan lingkungan dapat disampaikan melalui bahasa yang dekat dengan masyarakat, seperti khotbah Jumat atau ceramah pengajian.

2. Reformasi Kebijakan yang Holistik

Kebijakan pemerintah seringkali kontradiktif antara tujuan lingkungan dan kepentingan ekonomi. Untuk itu, diperlukan reformasi kebijakan yang holistik dan berkelanjutan.

A. Menghapus Insentif untuk Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan

Perkebunan sawit adalah salah satu penyumbang utama deforestasi. Pada 2023, terdapat sekitar 3,4 juta hektar sawit berada di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Pemerintah harus:

  • Mencabut insentif fiskal seperti tax holiday untuk perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan.
  • Memperketat izin lingkungan dan menerapkan sanksi tegas bagi pelanggar.
  • Mengembalikan ekosistem hutan yang rusak akibat penanaman kelapa sawit

Contoh positif datang dari Uni Eropa, yang melarang impor sawit dari lahan deforestasi. Indonesia dapat mengadopsi kebijakan serupa untuk pasar domestik.

BMenaikkan Anggaran Restorasi Ekosistem

Anggaran restorasi ekosistem saat ini hanya Rp 10 triliun/tahun, jauh dari kebutuhan riil yang mencapai Rp 50 triliun/tahun. Dana ini dapat digunakan untuk:

  • Rehabilitasi lahan gambut terdegradasi.
  • Pembangunan infrastruktur pemadam kebakaran hutan.
  • Program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

Peningkatan anggaran dapat dipenuhi melalui kerja sama dengan lembaga internasional seperti Green Climate Fund (GCF).

3. Kolaborasi Global yang Adil

Krisis lingkungan adalah masalah global yang membutuhkan solusi global. Indonesia harus aktif dalam kolaborasi internasional, tetapi dengan prinsip keadilan.

A. Menuntut Pemenuhan Komitmen Pendanaan Iklim

Negara maju telah berjanji menyediakan USD 100 miliar/tahun untuk pendanaan iklim, tetapi realisasinya hanya USD 83 miliar pada 2022 (OECD). Indonesia harus:

  • Memimpin koalisi negara berkembang untuk menuntut pemenuhan komitmen ini.
  • Mengalokasikan dana tersebut untuk proyek-proyek prioritas seperti restorasi gambut dan energi terbarukan.

B. Membangun Pusat Riset Kebakaran Hutan ASEAN

Indonesia dapat memprakarsai pembangunan ASEAN Fire Research Center dengan dukungan teknologi dari Eropa dan AS. Pusat riset ini akan:

  • Mengembangkan sistem pemantauan kebakaran berbasis teknologi terkini, misal menggunakan satelit.
  • Melatih tim darurat dari negara-negara ASEAN.
  • Menjadi hub pengetahuan tentang pengelolaan hutan berkelanjutan.

Contoh sukses adalah kerja sama Indonesia dengan Kanada dalam pengembangan Fire Danger Rating System (FDRS), yang telah mengurangi respons waktu pemadaman hingga 40%.

4. Pemberdayaan Masyarakat Adat

Masyarakat adat adalah penjaga hutan terbaik. Studi dari World Resources Institute (WRI) menunjukkan bahwa hutan adat memiliki tingkat deforestasi 50% lebih rendah dibanding kawasan konsesi perusahaan.

A. Mempercepat Pengesahan RUU Masyarakat Adat

RUU Masyarakat Adat telah dibahas sejak 2012 tetapi belum juga disahkan. RUU ini penting untuk:

  • Mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan.
  • Memberikan perlindungan hukum terhadap praktik-praktik konservasi tradisional.

B. Memberikan Insentif Ekonomi

Masyarakat adat seringkali terjebak dalam kemiskinan, sehingga terpaksa mengeksploitasi hutan. Pemerintah dapat memberikan insentif ekonomi melalui:

  • Program Payment for Ecosystem Services (PES), di mana masyarakat dibayar untuk menjaga hutan.
  • Pengembangan ekowisata berbasis komunitas, seperti yang sukses dilakukan di Desa Negeri Harapan, Maluku.

Contoh inspiratif datang dari Suku Dayak Iban di Kalimantan Barat, yang berhasil mengelola 50.000 hektar hutan adat dengan sistem tebang pilih. Mereka juga mengembangkan produk madu hutan yang diekspor hingga ke Eropa.

Hutan Bukan Warisan, Tetapi Pinjaman

Menyelamatkan hutan tropis Indonesia bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis lingkungan, tetapi tanggung jawab bersama. Dengan memperkuat pendidikan lingkungan berbasis agama, mereformasi kebijakan, membangun kolaborasi global, dan memberdayakan masyarakat adat, kita dapat menciptakan masa depan di mana hutan tetap lestari dan kehidupan manusia sejahtera.

Kita bukan mewarisi hutan dari nenek moyang, tetapi meminjamnya dari anak cucu. Perlindungan hutan tropis harus menjadi gerakan kolektif yang melibatkan ilmu pengetahuan, nilai-nilai spiritual, dan keadilan sosial. Jika Amerika bisa menarik diri dari Perjanjian Paris, Indonesia justru harus memimpin dengan contoh nyata.

Seperti kata pepatah Dayak, “Hutan adalah cermin diri kita. Jika kita merusaknya, bayangan kehancuran akan menatap kita kembali.” Saatnya menyelamatkan cermin itu sebelum retaknya menjadi pecahan yang tak tersambung lagi.


Tulisan ini didasarkan pada wawancara eksklusif Tim Media Interfaith Rainforest Initiative  (IRI) Indonesia dengan Prof. Bambang, dengan pengayaan data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, World Bank, serta IRI.

 

Artikel ini juga sudah tayang di tvonenews.com pada hari Rabu, 12 Maret 2025 – 18:11 WIB
Judul Artikel : Menyelamatkan Hutan Tropis Indonesia – Antara Ilmu, Iman, dan Kolaborasi Global
Link Artikel : https://www.tvonenews.com/berita/opini/310211-menyelamatkan-hutan-tropis-indonesia-antara-ilmu-iman-dan-kolaborasi-global?page=2
Oleh : Reporter : Tim tvonenews.com Editor : Ammar Ramzi