BIODIVERSITAS DAN SPIRITUALITAS MENJAWAB KRISIS IKLIM

Opini Oleh : Dr. Fachruddin M. Mangunjaya,*

Dekan Fakultas Biologi dan Pertanian Universitas Nasional (UNAS)

Bagian 1

Ketika Nabi Nuh as. sudah mempersiapkan kapal yang dikenal dengan Kapal Nuh (Noah Ark), kemudian beliau mendapat wahyu dari Tuhan yang memerintahkan, supaya Nuh mencari pula binatang dan tumbuh tumbuhan, dengan mengambil sepasang sepasang untuk dibawa dan diselamatkan.[1] Entah kapan Bahtera Nuh tersebut ada, tetapi kitab-kitab wahyu (Taurat, Injil an al Qur’an) mencatat dan mengabarkan kepada kita tentang peristiwa Nuh as dan kapal besarnya. Pentingnya lagi bahwa kejadian itu menggambarkan  kaitan penting kehidupan lain –binatang liar dan tumbuhan—yang disebut sekarang sebagai konservasi biodiversitas (keanekaragaman hayati) atau flora dan fauna untuk penerus kehidupan.

Dalam konteks biodiversitas, maka peristiwa Nuh mengkoneksikan kita pada spiritualitas, bahwa keberadaan makhluk lain adalah penting dan menyambungkan manusia pada kekuatan transenden.
Spiritualitas, dalah hal ini didefinisikan sebagai rasa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, pencarian makna hidup, dan pengalaman transenden. Demikianlah keyakinan kita bahwa keberadaan manusia tidak lengkap, maka ada ciptaan lainya, dan bahkan yang lebih besar dari sekedar penciptaan manusia itu sendiri.

Maka, hadirnya hutan-hutan Indonesia yang dulu membentang hijau dari Aceh hingga Papua, dan flora dan fauna seperti, orangutan, burung rangkong, dari semut hingga gajah, sudah pasti kehadiran mereka mempunyai makna masing dan fungsi masing.

Dalam makna ekologis, ekosistem yang dimainkan, contohnya orangutan, rangkong (burung enggang), dan kelelawar sangat penting dalam mendukung jasa ekosistem, khususnya dalam hal penyebaran biji (seed dispersal) dan penyerbukan (pollination). Ketiganya disebut satwa kunci (keystone species) yang membantu regenerasi hutan tropis melalui interaksi mereka dengan tumbuhan. Orangutan (Pongo spp.), merupakan penyebar biji utama (seed disperser), terutama untuk buah-buahan berdaging tebal yang tidak dapat disebarkan oleh angin atau hewan kecil.

Dengan kegiatannya sehari hari hampir lebih 90 persen hidupnya di atas pepohonan, maka mereka membantu persebaran biji dalam jarak jauh (hingga beberapa kilometer). Tentu saja keberadaan mereka sangat penting sebagai pekerja kehutanan sejati, tanpa pamrih untuk regenerasi hutan dan keanekaragaman genetik tumbuhan. Riset di Kalimantan dan Sumatra menunjukkan orangutan memakan buah dari >500 spesies tumbuhan. Di dalamnya terdapat sekitar 150–200 spesies pohon yang bijinya disebarkan secara efektif melalui feses orangutan. Contoh tumbuhan penting: Ficus (banyak spesies), Durian, Nephelium, Canarium, dan Santiria.

Rangkong (Bucerotidae), juga berperan sebagai penyebar biji, khususnya untuk buah-buahan besar (misalnya Durio, Ficus, Myristica) yang tidak bisa dikonsumsi burung kecil. Beberapa spesies rangkong (misalnya rangkong gading, Rhinoplax vigil yang terancam punah) menjadi satu-satunya penyebar efektif bagi beberapa jenis pohon berbuah besar. Di beberapa studi di Kalimantan dan Thailand, rangkong memakan buah dari >80–150 spesies tumbuhan. Sekitar 30–50 spesies diketahui tergantung pada rangkong untuk penyebaran biji, terutama yang memiliki biji besar. Kelelawar yang termasuk dalam hewan pemakan buah buahan sekaligus pengisap madu (nektarivora) yang menjadi polinator penting untuk beberapa spesies tanaman berbunga malam. Terdapat lebih dari >300 spesies tumbuhan tropis. Sebagai menjadi polinator utama untuk >30 spesies pohon penting secara ekologis dan ekonomis, termasuk durian (Durio zibethinus), jambu jambuan dan banyak tumbuhan domestic.

Daratan Indonesia, hanya 1,3 persen dari permukaan bumi, namun merupakan habitat bagi 10% spesies tumbuhan berbunga dunia; 12% spesies mamalia dunia; 16% dari seluruh spesies reptil dan amfibi; 17% spesies burung di dunia; dan 25% atau lebih spesies ikan dunia. Sebagian dari spesies itu tidak dijumpai di belahan bumi lain (endemic). Hanya di Indonesia, atau pulau pulau tertentu. Namun spedies ini sekarang mengalami kerusakan dan ancaman kepunahan akibat habitatnya yang semakin putus. Indonesia kini menjadi episentrum krisis biodiversitas global. Namun, di tengah ancaman deforestasi masif dan perubahan iklim, ada harapan: kombinasi antara kearifan agama, kebijakan berbasis sains, dan potensi bioekonomi yang belum sepenuhnya tergali.

Bagi bangsa Indonesia, kita tak bisa lagi memisahkan alam dari nilai spiritual dan ekonomi berkelanjutan. Pelestarian lingkungan dan pekerjaan memulihkan bumi dan ekosistem dapat mejadi ladang amal yang baik dan membawa pesan spiritualitas, mendekatkan bakti kehidupan kita kepada Sang Pencipta. Jadi sudah saatnya kehidupan beragama dengan kearifan lokal, dapat difahami dengan penemuan fakta sains, dan kebijakan untuk menyelamatkan bumi.

 

*Artikel ini merupakan hasil wawancara eksklusif IRI Indonesia dengan Dr. Fachruddin Mangunjaya
Kunjungi Profil Pribadi Dr Fachruddin Mangunjaya (
https://www.drfachruddin.com/ )

 

[1]  Qs Hud :40. “(Demikianlah,) hingga apabila perintah Kami datang (untuk membinasakan mereka) dan tanur (tungku) telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (bahtera itu) dari masing-masing (jenis hewan) sepasang-sepasang (jantan dan betina), keluargamu kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu (akan ditenggelamkan), dan (muatkan pula) orang yang beriman.” Ternyata tidak beriman bersamanya (Nuh), kecuali hanya sedikit.”